Jumat, 14 Maret 2014

Peran Perawat Dalam BPJS

Sangat susah memang memberikan penghargaan kepada profesi perawat, ketika perawat sendiri masih bingung mendefinisikan tentang apa yang dilakukan oleh mereka. Di Indonesia sampai hari ini belum ada nomenclatur yang disepakati sebagai klasifikasi tindakan perawat. Padahal klasifikasi ini yang dijadikan dasar untuk membuat clinical pathway dan penentuan tarif perawatan. Bagaimana dengan pemberlakuan JKN yang sudah dilounching per 1 Januari 2014, dimana tarif pelayanan di rumah sakit adalah tarif paket INACBG’s? Sebenarnya kasus ini bukan hanya akan terjadi di 1 Januari 2014 itu, tapi semenjak pemerintah memberlakukan tarif paket dengan INA DRG 9 tahun yang lalu, hak perawatpun tidak jelas seperti apa. Yang menentukan besaran tarif itu tidak bisa disalahkan juga, karena mereka dalam menentukan tarif juga sudah menggunakan data empiris yang cukup banyak. Persoalannya, apakah peran perawat di dalam tarif paket itu sudah tercover sebagai sebuah profesi yang layak dihargai? dan bagaimana mereka menghargai perawat, kalau ternyata kita sendiri tak mampu menunjukan aktifitas kita yang sangat banyak. Mengapa tak mampu menunjukan aktifitas kita? Jawabannya sudah jelas, karena kita tidak memiliki “nama” terhadap aktifitas kita yang sangat banyak itu.

Kamis, 06 Maret 2014

Nasib RUU Keperawatan Kini

Oleh Nugroho Kuncoro Yudho WAKTU kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat 20092014 sebentar lagi usai. Isi Senayan dalam tahun ini sebagian besar akan berubah menjadi wajahwajah baru dan lugu. Wajah yang di pelupuk matanya bersinar keluguan dan kesungguhan un tuk mengabdi pada negara, pada kon stituen yang memilih mereka atau pada rakyat yang telah memberi suaranya, sebagaimana harapan yang dilontar kan Iwan Fals untuk para wakil raky at: “Saudara dipilih bukan dilotre, mes ki kami tak kenal siapa saudara.” Para wakil rakyat ini sangat diharap kan dapat menyepakati peraturan atau undangundang yang mengakomoda si kepentingan negara serta mengayomi dan melindungi rakyat. Mereka bukan sekelompok orang atau kepentingan. Un dangundang yang dihasilkan pun har us mempunyai kualitas tinggi, sehing ga tidak perlu direvisi setiap saat, apa lagi bertentangan dengan UndangUn dang Dasar. Walaupun demikian, pembahasan un dangundang tersebut tidak semestinya macet di tengah jalan alias tidak sele sai dalam masa kerja anggota DPR yang hanya lima tahun. Apalagi jika UU itu merupakan peninggalan anggota DPR masa kerja sebelumnya, tentu ini akan menjadi tanda tanya besar. Hal itu terjadi pada Rancangan Un dangUndang Keperawatan. RUU Keper awatan telah masuk ke Senayan sejak masa kerja anggota DPR 2004 – 2009, tetapi hingga kini nasibnya tak jelas. Akhirakhir ini, hampir tidak terdengar adanya pembahasan RUU tersebut di DPR, padahal targetnya akhir 2013 telah disahkan. Kenyataannya hingga masuk 2014 semakin tidak jelas. Hal ini men jadi pertanyaan, apakah anggota DPR memerlukan “sesajen” untuk menggol kan RUU menjadi UU? Masih segar dalam ingatan ketika pas al 115 ayat 3 UndangUndang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (pasal terkait zat adiktif dalam tembakau) ter cecer (baca: hilang) di jalan, ketika diba wa dari DPR ke Istana. Hal ini menun jukkan adanya mafia perundangun dangan di negeri ini. Mafia ini bergerak maju tak gentar membela yang bayar. Ini fakta. Tidak semua rakyat di negeri ini berkemanusiaan yang adil dan be radab. Tidak semua orang di negeri ini ingin mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kembali ke RUU Keperawatan, yang sejak 2009 diusulkan dan hingga kini masih dalam tarik ulur dan belum disah kan. RUU Keperawatan diyakini dapat menjadi penguat dan pelindung bagi pro fesi perawat. Berdasarkan analisis beber apa ahli keperawatan dan kalangan DPR sendiri, RUU ini sangat ditakutkan oleh Kementerian Kesehatan dan sebagian profesi kesehatan lain, terutama dokter. Mengapa? Pertama, dengan adanya UndangUn dang Keperawatan, maka sebagian ke wenangan Kementerian Kesehatan akan beralih ke konsil dan kolegium keper awatan, seperti pengiriman TKI perawat ke luar negeri, pengelolaan pendidikan keperawatan dan registrasi perawat. Kedua, dengan kuatnya profesi per awat, maka akan berdampak pada se jajarnya profesi perawat dengan dokter yang selama ini dapat dikatakan seb agai kemitraan semu atau bahkan ka lau diambil istilah kasar seperti “maji kan” dan “pembantu”. Jikalau ada suatu profesi yang melak sanakan pekerjaan profesi lain dan di anggap legal, tentu itu adalah profesi perawat. Jika ada profesi yang bekerja menunggu instruksi profesi lain, tentu itu adalah perawat. Jika ada profesi yang ditugasi mengerjakan pekerjaan profe si lain, tentu itu juga adalah perawat. Bagaimana tidak. Perawat beker ja di rumah sakit 24 jam, tidak han ya merawat tetapi juga melakukan tin dakan medis seperti menyuntik, mem beri obat, dan memasang infus, kadang kadang juga menulis resep sesuai nase hat dokter yang kerap malas datang ke rumah sakit dan hanya memberi resep via telepon. Selama 24 jam, perawat ber tugas di ruangruang perawatan. Pasien datang dan seringkali harus menunggu kunjungan dokter selama 2 x 24 jam. Perawat di puskesmas juga demiki an. Tidak jarang dokter yang bertugas datang telat dan pulang cepat. Walha sil, perawat yang melakukan anamnesa, diagnosa (menyimpulkan penyakit) dan terapi (meresepkan obat) pasien. Perawat (berdasarkan info dari beberapa teman perawat) sebenarnya enggan melaku kannya jika tidak terpaksa. Terpaksa karena dokternya datang telat atau tidak ada. Temanteman perawat pernah me nyampaikan kepada saya, mungkinkah pasien yang datang itu kita suruh pu lang atau ke puskesmas lain dengan ala san tidak ada dokternya. Bahkan, tidak jarang pimpinan institu si kesehatan mendelegasikan kewenan gan mendiagnosis dan mengobati – yang semestinya wewenang dan tanggung jaw ab dokter – kepada perawat. Dengan kon disi tersebut, bagaimana mungkin kita menutup praktik ilegal perawat berkedok mantra dalam hal mengobati pasien se mentara di institusi pemerintah sendiri, perawat ditugasi mengobati. Memang harus diakui, profesi ke sehatan yang multifungsi adalah per awat, entah karena dianggap mampu atau karena dianggap profesi pemban tu. Bagaimana tidak, dalam hal pengo batan sudah dapat dipastikan apabila tidak ada dokter, maka yang mengoba ti adalah perawat. Ternyata, di institu si kesehatan (terutama di puskesmas), apabila tidak ada tenaga profesi kesehat an lainnya, maka pekerjaan, tugas dan tanggung jawab profesi kesehatan men jadi tugas dan tanggung jawab perawat. Puskesmas saat ini mempunyai 6 pro gram dasar yang dikenal dengan “basic six”, terdiri dari promosi kesehatan, pe nyehatan lingkungan, peningkatan gizi, pelayanan kesehatan ibu dan anak ter masuk KB, penanggulangan penyakit termasuk imunisasi dan pengobatan. Apabila ditinjau dari segi fungsional ke sehatan, maka program promosi kese hatan menjadi tanggung jawab penyuluh kesehatan masyarakat, penyehatan ling kungan menjadi tanggung jawab sanitar ian, peningkatan gizi menjadi tanggung jawab nutrisionis, pelayanan kesehat an ibu dan anak termasuk KB menjadi tanggung jawab bidan, penanggulangan penyakit menjadi tanggung jawab epide miolog dan entomolog, serta imunisasi dan pengobatan menjadi tanggung jaw ab dokter. Sedangkan perawat mempu nyai program perawatan kesehatan ma syarakat yang saat ini hanya merupak an program pengembangan atau pro gram terintegrasi dengan program lain nya. Ironisnya, ketika profesi atau fung sional kesehatan terkait program terse but (6 program pokok puskesmas) tidak ada, maka yang menjadi pemain peng ganti adalah perawat. Sementara itu, tugas utama perawat tidak ada yang menggantikannya apabi la perawatnya berhalangan. Sedangkan dari segi etika profesi atau hukum, per awat tidak memliki perlindungan. Apa bila terjadi sesuatu terkait pekerjaannya yang tidak sesuai dengan profesinya, maka ini dapat dikategorikan malpraktik. RUU Keperawatan diharapkan dapat memperjelas dan mempertegas batasan dan standar profesi perawat, serta mem beri perlindungan terhadap profesi per awat. Dengan UU Keperawatan, diharap kan tidak ada lagi kesewenangwenan gan atau monopoli profesi lain terha dap profesi perawat. Di sisi lain, den gan adanya UU Keperawatan, seorang perawat dituntut untuk taat hukum dan mengembangkan ilmu pengetahuan ter kait profesinya. Tidak ada lagi perawat yang beker ja tanpa mengetahui apa yang menjadi kewenangannya. Tidak ada lagi per awat yang menjadi pembantu profesi lain. Bahkan, jika memungkinkan pro gram perawatan kesehatan masyarakat (perkesmas) menjadi program dasar di puskesmas, sehingga perawatan komu nitas sebagai istilah baru dari perkesmas dapat menjadi program impian seorang perawat di puskesmas. Permasalahannya sekarang adalah RUU Keperawatan masih tarik ulur, ti dak jelas kapan terwujud. Pekerjaan rumah wakil rakyat 2004 – 2009 yang dilanjutkan oleh periode 2009 – 2014 untuk membahas dan mengesahkan UU tersebut belum berakhir. Lantas, mampukah mereka mewujud kan UU tersebut? Kita hanya bisa berharap dan berdoa. Walaupun waktu kerja mereka hanya menghitung bulan, semoga mimpi dan harapan perawat untuk mempunyai pa yung hukum berupa UU dapat terwujud.